Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948


Oleh Sumantiri B. Sugeo dan Heri Hidayat Makmun

Masa paling keras kedua setelah perang Surabaya pada 10 November 1945 adalah pertempuran para pejuang Republik Indonesia dalam menghadapi Agresi Militer Belanda ke II pada tanggal 19 Desember 1948, dimana ratusan kapal terbang Belanda berputar-putar di atas kota Jogjakarta dengan menjatuhkan pasukan para dan bom.

Saat penerjunan itu dimulai pada jam 06.45. Pesawat-pesawat Dakota C-47 menjatuhkan pasukan para dari ketinggian yang sangat rendah, 120 m, sehingga para parajurit para langsung menarik tali parasut segera setelah meloncat. Pasukan para diterjukan di Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta.

Jendral Spoor seorang Panglima Militer Belanda berkeyakinan bahwa serangan udara dengan serangan cepat akan dapat melumpuhkan Kota Jogjakarta, yang berarti akan menghapus keberadaan Republik Indonesia. Suatu operasi yang diberi sandi “Operatie Kraai” yang dalam bahasa Indonesia artinya Operasi Burung Gagak ini memang sudan direncanakan sejak Januari 1948.

Usaha Belanda untuk merebut kembali dengan misi mengambil alih bumi Hindia Timur ( Sulawesi Utara, Maluku dan Irian Barat. Aksi seperti ini pada tahun 1947 juga telah dilakukan yang sering disebut dengan Agresi Militer Belanda I yang berhasil menguasai sebagian besar Jawa Barat dan Jawa Timur serta sebagian Jawa Tengah.

Serangan ke Yogjakarta sebagai Ibu Kota Negara merupakan serangan awal dari operasi ini sebelum wilayah lainnya. Para pejuang kita terdesak karena bombar pesawat-pesawat Belanda menghujani kota Yogjakarta. Terpaksa para pejuang masuk ke pinggiran-pinggiran kota dan akhirnya keluar dari Kota Jogjakarta.

Pada akhirnya Yogjakarta dikuasai oleh aggressor Belanda dan melakukan penangkapan terhadap Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Posisi para pemimpin Negara berada di Ibu Kota Negara, karena ketika itu berdasarkan keputusan Sidang Kabinet yang diadakan dengan kilat agar tetap dapat mengakomodasi Komisi Tiga Negara (KTN) dan kontak-kontak diplomatik dapat diadakan.

Walaupun keadaan RI sangat genting perlawanan oleh para pejuang tidak juga pupus, Jendral Sudirman yang memimpin pasukan tetap melakukan perlawanan dengan perang gerilya dari wilayah-wilayah di luar Yogjakarta.

Kondisi beliau waktu itu sedang sakit parah, tetap tekadnya tetap keras untuk tidak pernah menyerah pada penjajah. Perjuangan tidak boleh putus. Perjuangan gerilya dari hutan ke hutan memaksa beliau di tandu kian kemari oleh para anak buahnya yang setia.

Wilayah yang paling sering dijadikan pusat kekuatan di luar Jogjakarta adalah di Goa Selarong di Desa Selarong, Bantul Jogjakarta. Daerah ini banyak sekali terdapat goa-goa yang terletak tidak jauh dari pantai selatan. Letaknya memang terpencil sulit diakses oleh pasukan Belanda.

Para pejuang memikirkan status RI dalam situasi yang genting tersebut yang menyebabkan Republik Indonesia yang masih muda ini harus mempertahankan status quo dan dan de facto dengan memindahkan Ibu Kota Negara ke Sumatera.

Para pejuang akhirnya berhasil membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat. Pemindahan ini penting sebagai bukti kepemilikan wilayah dan ibu kota Negara (salah satu syarat de facto) sebagai bagian dari kekuatan bargaining pada saat usaha diplomasi pengakuan kemerdekaan dari bangsa-bangsa d

Tinggalkan komentar